Senin, 12 Desember 2011

Membuat Telaga di Tengah Gurun

Membuat Telaga di Tengah Gurun


Memacu sepeda motor di gelap malam dari kabupaten sebelah, menerjang jalan berlubang, membelah kabut malam nan dingin tersapu hujan rintik, ditemani lampu motor yang mulai redup, cuma lambaian pucuk cemara diterpa angin yang membuat suasana tidak hening, tak ada mobil yang lewat, tak ada rumah penduduk, kalau adapun tentu pintu rumahnya sudah tutup untuk menahan dingin malam diluar. Kali ini agak kemalaman pulang dari menebar secercah cahaya di negeri tetangga. Berjam-jam menghirup kabut embun dijalan cukup untuk menambah kelabu paru-paru ini, batuk kering dengan kecepatan 3 getaran/ detik tak cukup melegakan sesak di dada. 
Itu baru setengah perjalanan, minggu depan harus menempuh perjalanan 3 kali lebih lama untuk mengisi energi cahaya, mencari pusaran angin yang bisa membakar energi cahaya untuk bisa bersinar lebih terang lagi. Melintasi hutan cemara nan dingin, walau tak rutin setiap minggu, energi yang dibawa cukup untuk nyala cahaya beberapa minggu, sebanding dengan jarak dan waktu yang terpakai untuk menjemputnya. Cahaya itu harus dibagi kepada jiwa-jiwa perindu hidayah yang jumlahnya tak terlalu banyak dinegeri ini.

Itu mungkin belum seberapa dibanding dengan perjuangan para kader dakwah yang berada di beberapa tempat, kita mungkin pernah membaca di majalah tentang perjuangan seorang ustadz yang berjalan kaki dari satu kota ke kota lain untuk mengisi halaqoh, bayangkan hanya dengan berjalan kaki. Ataupun kita pernah juga membaca kisah seorang ummahat di Aceh mengisi halaqoh ke kabupaten tetangganya dengan mengendarai sepeda motor selama dua jam melintasi hutan dalam keadaan hamil. Atau mungkin juga kita juga perbah mendengar kisah seorang ustadz generasi awwalun dakwah ini di Sumatera Barat dimana beliau berjualan es keliling yang sebagian hasil usahanya digunakan untuk membiayai perjalanan dakwahnya ke propinsi tetangga, mempuh perjalanan naik bis dari kota Padang – Jambi – Palembang itupun sering tidak dapat tempat duduk, bayangkan betapa pegalnya badan jika berdiri sepanjang perjalanan itu.

Suatu yang sudah jelas, seorang kader dakwah yang sudah merasakan kemaslahatan dakwah ini dalam dirinya tentu akan selalu merindukan eksistensi dakwah ini dimanapun ia berada, rindu majelis ilmu yang sudah menjadi kebutuhan fikriyah dan jasadiyahnya. Seorang kader dakwah tentu akan merasa ada kekurangan ataupun kehampaan jika tak ada asupan energi tarbiyah mengisi relung-relung jiwanya. Terlebih jika seorang kader dakwah berada pada negeri yang tidak ada teman sefikrohnya bahkan juga tak ada teman seakidah yang dibatasi oleh teritorial yang cukup luas rentangnya untuk mencapai komunitas dakwah. Tentu saja jika keimanan yang sudah tertanam dengan baik akan membuatnya semakin rindu untuk ‘menyongsong cahaya’ berjumpa dalam majelis ilmu, majelis ukhuwah yang disana ia bisa saling mengingatkan, saling mengisi energi sebagai bekal untuk menebar cahaya kepada yang membutuhkannya. Ibaratnya seseorang yang berada ditengah gurun pasir yang panas, tentu ia akan mencari sumber air, ia akan mengeluarkan semua energinya untuk mendapatkan air tersebut.

Beruntunglah kader dakwah yang tempat menghadiri majelis ilmunya masih pada negeri yang tidak terlalu membutuhkan pengorbanan untuk mencapainya. Beruntunglah kita yang tempat halaqohnya masih di dalam satu kota, bisa naik angkot 10 menit nyampe, atau masih satu kecamatan, ataupun cuma satu DPRa yang letaknyapun dibelakang pojok tempat tinggal kita. Jika kondisi sudah seperti itu masih ogah-ogahan datang betapa ruginya kita, sebab betapa banyaknya kemaslahatan yang bisa kita peroleh dalam majelis ilmu tersebut. Bisa kita renungkan, dakwah yang dibawa Rasulullah SAW mulai berkembang diawali dari gerakan halaqohnya hingga bisa menebus penjuru dunia, membawa dunia ke peradaban mulia.

Wahai kader dakwah, lihatlah lingkungan sekeliling kita, tentu masih banyak yang belum mencicipi peradaban seperti yang di ajarkan Rasulullah, adalah tugas seorang ‘laskar cahaya’ untuk menebar ‘secercah cahaya’ kepada jiwa-jiwa perindu hidayahNya, mereka butuh TELAGA DI TENGAH GURUN kehidupan mereka. Tugas kita membuatkan telaga itu, tentunya kita juga harus mencari sumber air / oase untuk mengisinya.....

Diposting 2 tahun yang lalu Suatu malam, sekembali dari negeri tanah sudut pinggiran danau Toba..

Tidak ada komentar: