Minggu, 30 September 2007

Senangkan Orang Tua Semasa Hidup…

(berikut ini sebuah kisah nyata yang dikirim ke e-mail ana........ mudah-mudah bisa menggugah hati dan menjadi bahan renungan kita bersama..... Amin)
.........................
Usia ayah telah mencapai 70 tahun, namun tubuhnya masih kuat. Dia mampu mengendarai sepeda ke pasar yang jauhnya lebih kurang 2 kilometer untuk belanja keperluan sehari-hari. Sejak meninggalnya ibu pada 6 tahun lalu, ayah sendirian di kampung. Oleh karena itu kami kakak-beradik 5 orang bergiliran menjenguknya.

Kami semua sudah berkeluarga dan tinggal jauh dari kampung halaman di Teluk Intan. Sebagai anak sulung, saya memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Setiap kali saya menjenguknya, setiap kali itulah istri saya mengajaknya tinggal bersama kami di Kuala Lumpur.

"Nggak usah. lain kali saja.!"jawab ayah. Jawaban itu yang selalu diberikan kepada kami saat mengajaknya pindah. Kadang-kadang ayah mengalah dan mau menginap bersama kami, namun 2 hari kemudian dia minta diantar balik. Ada-ada saja alasannya.

Suatu hari Januari lalu, ayah mau ikut saya ke Kuala Lumpur. Kebetulan sekolah masih libur, maka anak-anak saya sering bermain dan bersenda-gurau dengan kakek mereka. Memasuki hari ketiga, ia mulai minta pulang. Seperti biasa, ada-ada saja alasan yang diberikannya. "Saya sibuk, ayah.tak boleh ambil cuti. Tunggulah sebentar lagi. akhir minggu ini saya akan antar ayah," balas saya. Anak-anak saya ikut membujuk kakek mereka. "Biarlah ayah pulang sendiri jika kamu sibuk. Tolong belikan tiket bus saja yah." katanya yang membuat saya bertambah kesal. Memang ayah pernah berkali-kali pulang naik bus sendirian.

"Nggak usah saja yah." bujuk saya saat makan malam. Ayah diam dan lalu masuk ke kamar bersama cucu-cucunya. Esok paginya saat saya hendak berangkat ke kantor, ayah sekali lagi minta saya untuk membelikannya tiket bus. "Ayah ini benar-benar nggak mau mengerti yah. saya sedang sibuk, sibuuukkkk!! !" balas saya terus keluar menghidupkan mobil.

Saya tinggalkan ayah terdiam di muka pintu. Sedih hati saya melihat mukanya. Di dalam mobil, istri saya lalu berkata, "Mengapa bersikap kasar kepada ayah? Bicaralah baik-baik! Kasihan khan dia.!" Saya terus membisu.

Sebelum istri saya turun setibanya di kantor, dia berpesan agar saya penuhi permintaan ayah. "Jangan lupa, bang.. belikan tiket buat ayah," katanya singkat. Di kantor saya termenung cukup lama. Lalu saya meminta ijin untuk keluar kantor membeli tiket bus buat ayah.

Pk. 11.00 pagi saya tiba di rumah dan minta ayah untuk bersiap. "Bus berangkat pk. 14.00," kata saya singkat. Saya memang saat itu bersikap agak kasar karena didorong rasa marah akibat sikap keras kepala ayah. Ayah tanpa banyak bicara lalu segera berbenah. Dia masukkan baju-bajunya kedalam tas dan kami berangkat. Selama dalam perjalanan, kami tak berbicara sepatah kata pun.

Saat itu ayah tahu bahwa saya sedang marah. Ia pun enggan menyapa saya.! Setibanya di stasiun, saya lalu mengantarnya ke bus. Setelah itu saya Pamit dan terus turun dari bus. Ayah tidak mau melihat saya, matanya memandang keluar jendela. Setelah bus berangkat, saya lalu kembali ke mobil. Saat melewati halaman stasiun, saya melihat tumpukan kue pisang di atas meja dagangan dekat stasiun. Langkah saya lalu terhenti dan teringat ayah yang sangat menyukai kue itu. Setiap kali ia pulang ke kampung, ia selalu minta dibelikan kue itu. Tapi hari itu ayah tidak minta apa pun.

Saya lalu segera pulang. Tiba di rumah, perasaan menjadi tak menentu.Ingat pekerjaan di kantor, ingat ayah yang sedang dalam perjalanan, ingat Istri yang berada di kantornya. Malam itu sekali lagi saya mempertahankan ego saya saat istri meminta saya menelpon ayah di kampung seperti yang biasa saya lakukan setiap kali ayah pulang dengan bus. Malam berikutnya, istri bertanya lagi apakah ayah sudah saya hubungi. "Nggak mungkin belum tiba," jawab saya sambil meninggikan suara.

Dini hari itu, saya menerima telepon dari rumah sakit Teluk Intan."Ayah sudah tiada." kata sepupu saya disana. "Beliau meninggal 5 menit yang lalu setelah mengalami sesak nafas saat Maghrib tadi." Ia lalu meminta saya agar segera pulang. Saya lalu jatuh terduduk di lantai dengan gagang telepon masih di tangan. Istri lalu segera datang dan bertanya, "Ada apa, bang?" Saya hanya menggeleng-geleng dan setelah agak lama baru bisa berkata, "Ayah sudah tiada!!"

Setibanya di kampung, saya tak henti-hentinya menangis. Barulah saat Itu saya sadar betapa berharganya seorang ayah dalam hidup ini. Kue pisang, kata-kata saya kepada ayah, sikapnya sewaktu di rumah, kata-kata istri mengenai ayah silih berganti menyerbu pikiran.

Hanya Allah yang tahu betapa luluhnya hati saya jika teringat hal itu.Saya sangat merasa kehilangan ayah yang pernah menjadi tempat saya mencurahkan perasaan, seorang teman yang sangat pengertian dan ayah yang sangat mengerti akan anak-anaknya. Mengapa saya tidak dapat merasakan perasaan seorang tua yang merindukan belaian kasih sayang anak-anaknya sebelum meninggalkannya buat selama-lamanya.

Sekarang 5 tahun telah berlalu. Setiap kali pulang ke kampung, hati saya bagai terobek-robek saat memandang nisan di atas pusara ayah. Saya tidak dapat menahan air mata jika teringat semua peristiwa pada saat-saat akhir saya bersamanya. Saya merasa sangat bersalah dan tidak dapat memaafkan diri ini.

Benar kata orang, kalau hendak berbakti sebaiknya sewaktu ayah dan ibu masih hidup. Jika sudah tiada, menangis airmata darah sekalipun tidak berarti lagi.

Kepada pembaca yang masih memiliki orangtua, jagalah perasaan mereka. Kasihilah mereka sebagaimana mereka merawat kita sewaktu kecil dulu.

Don't find love, let love find you. That's why it's called falling in love, because you don't force yourself to fall, you just fall…

Selasa, 18 September 2007

Tadabbur........Jangan cuma Baca saja!

Al-Quran sesungguhnya merupakan kitab yang berisi petunjuk dasar untuk hidup di alam dunia. Dengan menggunakan petunjuk itulah, kita diminta oleh Allah SWT untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah dalam arti luas, bukan terbatas pada ruang lingkup ritual dan sakral, tetapi seluruh aplikasi kehidupan manusia sesungguhnya bagian dari ibadah. Tanpa menggunakan petunjuk itu, maka apapun yang kita niatkan sebagai ibadah akan sia-sia.
Maka selayaknya sebagai muslim, kita bukan sekedar hanya membaca Al-Quran sebagai ritus ibadah, tetapi lebih dari itu, seharusnya kita mempelajari maknanya, mendalami esensi isinya, serta pengimplementasikan perintah-perintah yang ada di dalamnya menjadi suatu tindakan yang nyata.
Al-Quran sendiri telah mengumpamakan orang yang membaca kitab namun tidak mengerjakan isinya seperti layaknya keledai yang memanggul kitab.
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (QS. Al-Jumu'ah: 5)
Maka menjadi kewajiban kita untuk mempelajari isi kitabullah, sebagaimana ciri orang yang bersifat rabbani.
Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (QS. Ali Imran: 79)
Perintah untuk melakukan tadabbur Al-Quran juga kita dapati sebagai sebuah keharusan sebagai seorang muslim.
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quraan ataukah hati mereka terkunci? (QS. Muhammad: 24)

Rabu, 12 September 2007

RENUNGAN JELANG RAMADHAN


Ketika Rasullullah sedang berkhotbah pada suatu Sholat Jum'at (dalam bulan Sya'ban), beliau mengatakan Aamin sampai tiga kali, dan para sahabat begitu mendengar Rasullullah mengatakan Aamin, terkejut dan spontan mereka ikut mengatakan Aamin. Tapi para sahabat bingung, kenapa Rasullullah berkata Aamin sampai tiga kali. Ketika selesai sholat jum'at, para sahabat bertanya kepada Rasullullah, kemudian beliau menjelaskan: "Ketika aku sedang berkhotbah, datanglah Malaikat Jibril dan berbisik, hai Rasullullah aamin-kan do'a ku ini," jawab Rasullullah. Do'a Malaikat Jibril itu adalah sbb: "Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut:
- Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada);
- Tidak berma'afan terlebih dahulu antara suami istri;
- Tidak berma'afan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya."
Maka Rasullah pun mengatakan Aamin sebanyak 3 kali.
Wallahualam bishowab



Tiada yang sempurna ,

kecuali Allah Yang Maha Kuasa

Tiada yang kekal makhluk didunia

Salah dan dosa pasti ada diantara kita

Pintu ma'af adalah jalan ke syurga

Allah Maha Pengampun terhadap makhluknya

Ungkapan yang tulus dari lubuk hati terdalam



Ramadhan sudah diambang pintu,
Jika Allah berkehendak insyaAllah kita akan menemui Ramadhan penuh barokah.
Semoga gelar taqwa Insya Allah akan menjadi milik kita yang
berharga sebagai modal langkah kita selanjutnya
Salah paham, kesedihan, ego, sakit hati, adalah proses
dari kehidupan kita.



Semoga dengan puasa mempertemukan kita dengan Keagungan Lailatul Qadar dan

kita semua menjadi pilihanNya untuk dikabulkan do'a - do'a dan
kembali menjadi fitrah
Amien..


FAJRI MUIZZADIN AL GHIFARY
mengucapkan ,


MOHON MAAF LAHIR & BATIN




Wassalam

Senin, 06 Agustus 2007

PILIHAN....

SEMUA ADALAH PILIHAN
"Tak ada yang saya salahkan...," suaranya mengambang, seakan datang dari negeri yang jauh. "Kecuali diri saya sendiri!"
Aku terdiam, tenang mendengarkan. Sementara mata kami melanglang buana, melahap semua keindahan ciptaan Ilahi yang terpampang hingga batas cakrawala. Punggung bukit yang berhias kerlap-kerlip lampu berwarna jingga, kemerahan, kebiruan, orange dan kuning itu membawa sensasi luar biasa bagi pupil mata.
"Kondisi yang harus saya jalani saat ini, adalah konsekuensi dari pilihan hidup saya sendiri," suaranya terdengar lagi. Aku masih khusyuk memperhatikan, sambil menikmati udara senja pegunungan yang menyelusup ke seluruh pori-poriku. Sejuk menyegarkan. Kawasan puncak menjelang malam, indah nian.
"Ketika saya baru lulus kuliah dulu, sebenarnya saya sudah ditawari untuk menikah. Namun waktu itu tegas-tegas saya menolak dengan alasan saya mau bekerja dulu, mencoba mempersembahkan sedikit bakti bagi orang tua --yah, meskipun saya tahu itu semua tak akan pernah dapat membalas jasa mereka--. Juga karena saya merasa masih ada dalam diri saya yang harus dibenahi. Harus saya akui, saya adalah tipe seorang dengan jiwa yang selalu gelisah. Rasanya saat itu, saya belum siap untuk berumahtangga, karena masih begitu banyak yang ingin saya lakukan, bagi diri sendiri dan bagi orang lain," sahabat saya tersenyum kecil, matanya tak lepas dari kejauhan.
"Dua tahun kemudian, kembali datang tawaran menikah. Kebetulan saat itu saya memang sudah mulai berpikir untuk menikah. Dari banyak tawaran yang datang, yang paling serius adalah seorang pemuda biasa, tetangga kampung. Sementara saat itu saya adalah seorang gadis muda dengan semangat keislaman yang sangat tinggi. Saya mensyaratkan dia harus mau ngaji dulu sebelum menikah dengan saya. Dia tak sanggup. 'Aku mencari istri, bukan mencari orang yang menyuruhku ngaji,' katanya.
Sedang saya tetap berkeras pada syarat yang saya minta. Maka proses pun berhenti di langkah itu dan hidup pun kembali berjalan pada pilihan masing-masing. Perasaan saya biasa saja saat itu. Waktu itu saya berpikir toh saya masih sangat muda, dua puluh empat tahun. Jadi, enjoy aja," Wanita muda itu menarik napas ringan sebelum melanjutkan.
"Menjelang usia dua puluh lima, datang lamaran lagi dari seorang laki-laki yang cukup saya kenal. Kali ini saya suka. Dia adalah pemuda tipe ideal saya. Maka serta merta saya terima. Tapi ternyata proses ini pun gagal lagi pada akhirnya. Orang tuanya menginginkan dia menikah dengan orang yang sesuku," suaranya bergetar. Ada jeda kesedihan yang tiba-tiba menyeruak.
"Saya sangat terluka dengan penolakan ini, hingga memilih melarikan diri pada aktifitas sosial yang sangat banyak. Mendampingi anak jalanan, mengadakan berbagai bakti sosial, dan ikut menjadi relawan dalam penanganan bencana-bencana di Jakarta. Saya nyaris tak pernah di rumah. Karena selain aktifitas-aktifitas tadi, aku juga tetap bekerja. Bahkan kemudian saya sangat menikmati aktifitas yang mulanya pelarian ini. Saya seperti menemukan apa yang pernah saya inginkan selama ini."
Kulihat bara semangat itu pada sorot matanya, pada wajah yang ditegakkannya.
"Di tengah gelora semangat itu, menjelang usiaku dua puluh enam, datang lagi sebuah lamaran. Kali ini dari seorang pemuda shalih yang baik, kalem dan pendiam, meskipun dia bukan aktifis. Seseorang yang belum pernah saya kenals ebelumnya. Saya yang tak mau kehilangan aktifitas yang sedang saya jalani, kembali mengajukan syarat, agar diijinkan tetap beraktifitas seperti semula. Sebenarnya dia tak menghalangi sepenuhnya. Dia hanya mengatakan, boleh saja beraktifitas, tetapi sebagai seorang istri harus mendahulukan kepentingan keluarga dan minta izin suami jika akan keluar rumah. Pernyataan itu saya tangkap sebagai 'larangan' waktu itu. Barangkali karena saya memimpikan mendapat pasangan sesama aktifis, seperti maraknya beberapa teman organisasi yang menikah dengan kalangan sendiri. Hhhh..., " kali ini si Mbak menarik napas panjang. "Saya menolaknya!" Suaranya kembali tergetar.
"Inilah proses yang paling saya sesali, hingga saat ini. Saya merasa bersalah sekali. Saya merasa sangat kekanak-kanakan. Sebenarnya apa sih yang saya inginkan? Dulu ketika baru lulus, saya beralasan hendak bekerja dulu dan beraktifitas. Itu sudah saya jalani semua. Ketika ada laki-laki biasa melamar, saya bilang saya ingin mendapat mendapat seorang ikhwan, dan kini Allah pun menghadirkannya. Sekarang? Saya menginginkan menikah dengan sesama aktifis yang benar-benar bisa memahami aktifitas publik saya. Sepertinya saya tidak bersyukur dan terus menerus mencari yang seperti saya inginkan saat itu." Dalam temaram lampu taman, aku dapat melihat kaca di bola matanya. Kugenggam tangannya, memberi kekuatan.
"Kesadaran bahwa pilihan dan sikap saya adalah kekeliruan, muncul tak lama kemudian. Hanya dua bulan setelah dia melamar. Kepada comblang yang mempertemukan kami, saya mengatakan ingin mencoba memperbaiki keputusan yang telah lalu. Namun semua sudah terlambat. Laki-laki itu tak lama lagi akan menikah." Kaca itu pecah, menjadi butiran-butiran kristal yang mengaliri pipinya.
"Rasa bersalah itu pun kian mendera perasaan. Saya mencoba menebus rasa bersalah itu dengan bersilaturahmi kepada sebanyak mungkin orang. Kepada kaum kerabat yang jarang saya kunjungi, kepada teman-teman lama yang mulai terlupakan karena aktifitas-aktifitas baru saya. Juga kepada guru-guru masa kecil. Saya tak tahu mengapa itu cara yang saya lakukan untuk menebus rasa bersalah, yang pasti saya hanya berharap, silaturahmi-silaturahmi itu dapat menjadi kafarat." Si Mbak tersenyum lagi. Ada kelegaan tergambar di wajahnya.
"Peristiwa itu membuat saya menjadi lebih dewasa. Saya mulai bersungguh-sungguh mencari pasangan hidup. Saya menghargai setiap tawaran yang datang. Bahkan saya juga minta tolong pada teman-teman untuk mencarikan." Wajahnya meredup lagi. "Saya tak pernah menolak lagi siapapun yang diajukan kepada saya, baik oleh guru ngaji, lewat teman-teman. Ataupun calon dari orang tua. Namun yang terjadi kemudian adalah bagai karma! Kali ini giliran saya yang terus menerus ditolak. Telah belasan orang dalam tiga tahun terakhir sejak saya menolak lamaran pemuda shalih itu. Bahkan termasuk teman-teman dekat saya sendiri, mereka menolak dengan halus tawaran saya untuk menikah dengan mereka." Suaranya begitu lirih, tercekat menahan tangis.
"Akhirnya saya merasakan juga sakitnya ditolak. Berkali-kali!" Perempuan itu kini tergugu. Lama. Dia menelungkupkan wajahnya di bangku taman. Aku tak dapat berbuat apa-apa, kecuali mengelus kepalanya yang terbungkus jilbab biru. Waktu terus berlalu dalam keheningan. Hanya isak tangis tertahannya yang terdengar, ditingkahi lolong anjing di kejauhan. Aku tak menghitung berapa lama dia menuntaskan gundahnya sampai kemudian dia bangkit, menuju serumpun shion yang tengah mekar.
"Mungkin orang akan mengatakan, itulah akibat dari menolak-nolak orang. Jadi perawan tua. Itu adalah konsekuensi yang tak hendak saya ingkari. Saya harus menerima predikat itu. Karena memang demikianlah adanya. Dan kini saya mendapatkan sudut pandang yang lain: bisa jadi sikap-sikap saya dulu, dan pilihan-pilihan itu memang sebuah kesalahan." Dia menghela napas. Tegar.
"Tapi ada satu hal yang saya syukuri. Semua peristiwa itu menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi saya. Sungguh-sungguh berharga. Kini saya tahu seperti apa perihnya ditolak. Kini saya sangat paham, manusia hanya dapat berencana, sedang Allah lah yang Maha Penentu. Kini saya mengerti, sangat mengerti bahwa Allah tahu yang terbaik untuk kita. Apa yang diberikanNya adalah selalu yang kita butuhkan, meski mungkin bukan yang kita inginkan. Kini saya juga jadi lebih dapat menghargai setiap orang. Bahwa siapapun dia, setiap orang selalu memiliki kelebihan dan kekurangan. Penghargaan kita yang tulus padanya akan berbalas perhatian pula." Wanita itu tersenyum. Kedamaian mengaura pada dirinya.
"Saya tak menyesali apa yang telah terjadi di masa lalu. Saya mungkin kehilangan kesempatan-kesempatan itu, namun saya tidak kehilangan hikmah dan pelajarannya. Barangkali memang harus demikian pergolakan jiwa dan perjalanan batin saya. Barangkali memang ahrus dengan cara itu saya dapat menjadi lebih matang. Kalau waktu itu saya menikah dengan jiwa yang seperti itu, mungkin juga tidak baik hasilnya. Saya mungkin menikah dengan kondisi terpaksa, dan saya tak tahu apa yang akan terjadi pada rumah tangga seperti itu Mungkin saya tak akan pernah mendapat hikmah-hikmah ini. Saya bahagia sekarang karena saya dapat merasakan ketulusan itu. Kini saya sangat siap untuk menerima pasangan hidup, siapapun dia."
"Bukan! Sama sekali bukan berarti saya banting harga karena saya sudah 30 tahun hingga segala idealita yang dulu digugurkan," dia buru-buru menambahkan. Seakan-akan takut kalimatnya akan langsung dipersepsikan lain. Saya mengerti karena kebanyakan seperti itu anggapan masyarakat terhadap para wanita lajang yang sudah beranjak lewat dari usia dua puluhan. Mereka seakan berlomba mengobral dirinya agar dapat menikah segera.
"Tetapi karena pengalaman telah mengajarkan saya banyak hal. Tetapi karena saya tidak lagi emosional sekarang. Bukan karena kehilangan idealita. Dan itu membuat saya bisa menerima siapa saja sekarang, karena saya kini mengerti arti sebuah ketulusan. Hingga saya dapat menghargai setiap orang, lebih dan kurangnya. Juga, saya pun tahu dan berlapang dada, jika Allah masih menimpakan akibat dari sikap-sikap saya di masa lalu. Semoga kesadaran ini akan menjadi kafarat dosa-dosa saya."
Wanita itu kini menatapku lembut. Wajahnya bercahaya tertimpa sinar lampu taman. Dia tersenyum, dengan senyuman bagai rembulan. Aku membalas senyumnya. Sementara angin malam makin menggigit tulang. Bulan sepasi yang menggantung di langit menandakan bahwa tengah malam telah jauh berlalu. Pemandangan puncak di waktu malam makin indah, namun kini tiba saatnya kami harus beristirahat. Hidup harus
terus berjalan, dan kami tak boleh terlampau sering menoleh ke belakang, kecuali sekedar mengambil pelajaran. Bukan untuk bersedih atas semua yang telah lalu.
Bergandengan tangan, kami bangkit dan melangkah ke dalam vila yang kami tinggali. Sekali lagi lolong anjing terdengar di kejauhan. Namun itu tak berarti apa-apa. Yang kami punya sekarang tekat, untuk terus memperbaiki diri dan jiwa. Orang muslim yang paling baik bukanlah mereka yang tak pernah berbuat kesalahan. Namun mereka yang tiap kali berbuat kesalahan dia sadar dan berusaha bertaubat kemudian memperbaikinya.

KSATRIA PEWARIS TANAH PUSAKA

Wahai Para Kesatria, pewaris tanah pusaka
Mengapa dikau gundah gulana
Bukankah terbentang luas taman indah nan warna-warni
Tidakkah kau cium harum semerbak bunga bertebaran di kanan kirimu
Atau kurang cukupkah samudera permata nan elok lagi bersinar menghiasimu
Wahai pemuda pewaris masa depan
Tataplah jauh ke muka
Ada beban luhur yang harus segera engkau pikul
Akan masih banyak tugas menanti untuk engkau ambil alih
Di mana tak akan mampu engkau memikulnya seorang diri
Engkau butuh penghibur yang akan senantiasa menguatkan hatimu ketika dirundung
kesenduan
Engkau butuh pendukung yang membuatmu betah berjalan tegak di setiap tugas
risalah yang kau tanggung
Wahai temanku yang masih sendiri,
Segeralah temukan teman hidupmu
penyejuk jiwamu kelak
Carilah dia karena sesungguhnya dia itu telah dekat.
Lebarkan matamu, dan buka mata hatimu
Tajamkan pendengaran, dan simak suara kalbumu
Barangkali sang dia telah berada dekatmu
Hanya engkau mempunyai angan yang terlalu tinggi
Mungkin dia berada persis di hadapanmu
Namun engau tidak mau menerima dia apa adanya
Duhai shobatku yang kesepian
Janganlah engkau sia-siakan perhiasan terindah di dunia itu
Kalau dia belum belum berkilau, tugasmulah tuk mengkilapkannya.
Andai dia belum terlihat elok, tanggung jawabmulah untuk menghiasi dirinya
dengan perhiasan ahlak yang mulia
Jika dia belum bersinar terang, ladang amalmu-lah untuk menyempurnakan
cahayanya yang masih tersingkap
Lalu apakah lagi yang engkau tunggu... wahai manusia yang telah diciptakan
Rabb-nya secara sempurna..