Senin, 12 Desember 2011

TETESAN BENING YANG MULAI MEMBEKU


Dulu, tetesan bening selalu mengalir deras saban hari dari ujung pelupuk mata ini. Kala beban dipikul terasa berat, kala perjuangan mengalami masa sulit, waktu sepertiga malam di kamar tak terlewat untuk menumpahkan tetesan bening ini. Kala lingkungan menunjukkan penolakannya, kala musuh-musuh kuffar zholim menebarkan ancamannya, waktu dhuha tetesan bening ini slalu tercurah diatas sajjadah imam di balik mimbar... bahkan tetesan bening ini tak kalah derasnya turun membasahi sajadah lima waktu ketika wajah-wajah kedua orang tua, wajah orang-orang terkasih yang jauh di mata melintas saat bermunajat padaNya... kadang ketika membaca mushaf terhenti di surah Al Israa’:17, At Taubah:9, Al Hajj:40 dan yang lainnya, tetesan bening ini turut menjadi saksi.
Ya, saat ujian tak sanggup diri kita memikulnya, kita butuh kekuatan untuk mengatasinya, pasti sumber kekuatan utama yang kita butuhkan ada pada Sang Maha Pemilik segalanya. Tatkala beban makin berat, tatkala tantangan menghadang, tatkala kita jauh dari orang-orang yang kita kasihi, tatkala jauh dari orang tua, tatkala apa yang kita hajatkan belum tercapai... hanyalah Allah yang maha memberi jalan keluar. Jika kondisi seperti itu, tak sulit bagi kita untuk terjaga di sepertiga malam, tak sulit untuk meluangkan waktu sejenak kala mentari naik sepenggalan untuk menumpahkan tetesan bening dari lubuk hati yang terdalam memelas pada-Nya. Kita yakin sepenuh hati bahwa Dia bisa mengubah segalanya, karena hanya Dia yang menggenggam dan berkuasa atas segalanya. Betapa dekatnya antara kita dengan-Nya kala itu, dan tentu saja Dia maha mendengar serta telah menyiapkan jalan terbaik yang diskenariokan untuk kita jalani.
Sekarang, skenarioNya berjalan seperti apa yang diharapkan. Segala nikmatnya tercurah bagai hujan lebat turun dari langit, diri ini terlena menikmati curahan-Nya. Akibatnya, tetesan bening yang dulu biasa mengalir kini mulai membeku. Kala ujian darinya tidak seberat dulu, kala musuh-musuh zholim tak lagi menebar ancaman, kala kehangatan bersama keluarga dan orang-orang terkasih telah menyelimuti diri, kala apa yang dihajatkan berhasil terlaksana.... tak seharusnya tetesan bening itu tak bisa keluar sama sekali.
Apakah ini sudah jadi sifat makhluk yang bernama manusia? Dia memohon kepada Rabb-nya kala susah, namun kala Rabb-nya telah mengabulkan pintanya, ia kemudian terlupa...
“Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata): "Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur." Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kezalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Yunus : 22 – 23)

Rabb... jadikan hamba selalu bersyukur atas ni’mat-ni’mat-Mu. Jadikan hamba selalu rindu untuk menjaga hubungan dekat dengan-Mu. Jadikan tetesan bening yang baru turun malam ini menjadi saksi kerinduan hamba untuk terus dekat dengan-Mu... dan jadikanlah orang-orang yang dekat dengan lingkungan hamba saat ini dan seterusnya menjadi orang-orang yang saling mengingatkan untuk menjaga kedekatan dengan-Mu, sehingga hati-hati kami berpadu berhimpun dalam naungan cinta-Mu, bertemu dalam taat pada-Mu, bersatu dalam dakwah-Mu serta berpadu menegakkan Syariah dalam kehidupan, kuatkanlah ikatannya, kekalkanlah Cintanya, tunjuki Jalannya, terangi dengan cahaya-Mu yang tak pernah padam dan indahnya Tawakkal pada-Mu, hidupkan dengan makrifat-Mu, matikan dalam syahid di jalan-Mu.... Engkaulah Pelindung dan Pembela...
NuansaIndah, sepertiga malam Dzulhijjah 32

Membuat Telaga di Tengah Gurun

Membuat Telaga di Tengah Gurun


Memacu sepeda motor di gelap malam dari kabupaten sebelah, menerjang jalan berlubang, membelah kabut malam nan dingin tersapu hujan rintik, ditemani lampu motor yang mulai redup, cuma lambaian pucuk cemara diterpa angin yang membuat suasana tidak hening, tak ada mobil yang lewat, tak ada rumah penduduk, kalau adapun tentu pintu rumahnya sudah tutup untuk menahan dingin malam diluar. Kali ini agak kemalaman pulang dari menebar secercah cahaya di negeri tetangga. Berjam-jam menghirup kabut embun dijalan cukup untuk menambah kelabu paru-paru ini, batuk kering dengan kecepatan 3 getaran/ detik tak cukup melegakan sesak di dada. 
Itu baru setengah perjalanan, minggu depan harus menempuh perjalanan 3 kali lebih lama untuk mengisi energi cahaya, mencari pusaran angin yang bisa membakar energi cahaya untuk bisa bersinar lebih terang lagi. Melintasi hutan cemara nan dingin, walau tak rutin setiap minggu, energi yang dibawa cukup untuk nyala cahaya beberapa minggu, sebanding dengan jarak dan waktu yang terpakai untuk menjemputnya. Cahaya itu harus dibagi kepada jiwa-jiwa perindu hidayah yang jumlahnya tak terlalu banyak dinegeri ini.

Itu mungkin belum seberapa dibanding dengan perjuangan para kader dakwah yang berada di beberapa tempat, kita mungkin pernah membaca di majalah tentang perjuangan seorang ustadz yang berjalan kaki dari satu kota ke kota lain untuk mengisi halaqoh, bayangkan hanya dengan berjalan kaki. Ataupun kita pernah juga membaca kisah seorang ummahat di Aceh mengisi halaqoh ke kabupaten tetangganya dengan mengendarai sepeda motor selama dua jam melintasi hutan dalam keadaan hamil. Atau mungkin juga kita juga perbah mendengar kisah seorang ustadz generasi awwalun dakwah ini di Sumatera Barat dimana beliau berjualan es keliling yang sebagian hasil usahanya digunakan untuk membiayai perjalanan dakwahnya ke propinsi tetangga, mempuh perjalanan naik bis dari kota Padang – Jambi – Palembang itupun sering tidak dapat tempat duduk, bayangkan betapa pegalnya badan jika berdiri sepanjang perjalanan itu.

Suatu yang sudah jelas, seorang kader dakwah yang sudah merasakan kemaslahatan dakwah ini dalam dirinya tentu akan selalu merindukan eksistensi dakwah ini dimanapun ia berada, rindu majelis ilmu yang sudah menjadi kebutuhan fikriyah dan jasadiyahnya. Seorang kader dakwah tentu akan merasa ada kekurangan ataupun kehampaan jika tak ada asupan energi tarbiyah mengisi relung-relung jiwanya. Terlebih jika seorang kader dakwah berada pada negeri yang tidak ada teman sefikrohnya bahkan juga tak ada teman seakidah yang dibatasi oleh teritorial yang cukup luas rentangnya untuk mencapai komunitas dakwah. Tentu saja jika keimanan yang sudah tertanam dengan baik akan membuatnya semakin rindu untuk ‘menyongsong cahaya’ berjumpa dalam majelis ilmu, majelis ukhuwah yang disana ia bisa saling mengingatkan, saling mengisi energi sebagai bekal untuk menebar cahaya kepada yang membutuhkannya. Ibaratnya seseorang yang berada ditengah gurun pasir yang panas, tentu ia akan mencari sumber air, ia akan mengeluarkan semua energinya untuk mendapatkan air tersebut.

Beruntunglah kader dakwah yang tempat menghadiri majelis ilmunya masih pada negeri yang tidak terlalu membutuhkan pengorbanan untuk mencapainya. Beruntunglah kita yang tempat halaqohnya masih di dalam satu kota, bisa naik angkot 10 menit nyampe, atau masih satu kecamatan, ataupun cuma satu DPRa yang letaknyapun dibelakang pojok tempat tinggal kita. Jika kondisi sudah seperti itu masih ogah-ogahan datang betapa ruginya kita, sebab betapa banyaknya kemaslahatan yang bisa kita peroleh dalam majelis ilmu tersebut. Bisa kita renungkan, dakwah yang dibawa Rasulullah SAW mulai berkembang diawali dari gerakan halaqohnya hingga bisa menebus penjuru dunia, membawa dunia ke peradaban mulia.

Wahai kader dakwah, lihatlah lingkungan sekeliling kita, tentu masih banyak yang belum mencicipi peradaban seperti yang di ajarkan Rasulullah, adalah tugas seorang ‘laskar cahaya’ untuk menebar ‘secercah cahaya’ kepada jiwa-jiwa perindu hidayahNya, mereka butuh TELAGA DI TENGAH GURUN kehidupan mereka. Tugas kita membuatkan telaga itu, tentunya kita juga harus mencari sumber air / oase untuk mengisinya.....

Diposting 2 tahun yang lalu Suatu malam, sekembali dari negeri tanah sudut pinggiran danau Toba..

Menjadi Penyelamat Tak Mengenal Siaran Tunda

Menjadi Penyelamat Tak Mengenal Siaran Tunda

14 Rabiul Akhir tahun ini berlalu begitu cepat, tak bisa waktu ini dipending agak sejenak. Tidak terasa sudah berkurang setahun lagi masa dalam hidup ini. Masa yang seharusnya menjadi masa emas harus tertunda beberapa saat lagi. 
14 Rabiul akhir 1405, seberkas cahaya baru terbit ke dunia ini, terbit perlahan mulai menyeruakkan cahayanya. Kala cerah tertiup angin cahayanya semakin terang menyinari sekelilingnya, kadang cahayanya juga terpantulkan kaca – kaca disekelilingnya hingga berkilauan, kadang cahayanya juga redup bahkan tidak kelihatan karena tertutup awan kelabu
Begitulah filosofi cahaya, harus membagi sinarnya ke semua penjuru, karena sinar cahaya itu dibutuhkan banyak individu-individu sebagai penerang, sebagai sumber energi, sebagai kebutuhan utama untuk kelangsungan hidup, dan lain sebagainya.

Kita semua terlahir ke dunia ini dituntut berperan sebagai ‘cahaya’. Sudah menjadi fithrah manusia menginginkan terang, manusia diberikan naluri dan hati nurani untuk memilih jalan yang terang dan menghindari jalan kegelapan, dan manusia sebetulnya juga memilki naluri dan nurani untuk mengajak sekelilingnya menuju jalan yang terang dan mencegah sekelilingnya memasuki jalan kegelapan. 

Sesungguhnya setiap manusia itu mempunyai potensi cahaya dalam dirinya. Ada yang cahayanya menyala sangat terang hingga bisa dimanfaatkan banyak individu di sekelilingnya, ada juga yang cahayanya tertutup awan kelabu hingga tak bisa terlihat, padahal cahayanya itu terus menyala, akan tetapi dibiarkan terus ditutupi awan kelabu, awan kelabu itu harus disingkirkan bisa dengan bantuan angin, bisa juga dengan cara meningkatkan energi cahaya itu sendiri untuk mereduksi awan kelabu itu. Yang jelas cahaya sangat dibutuhkan banyak individu yang merindunya.

Kita terlahir sebagai manusia diberikan tugas sebagai penebar cahaya menyinari sisi-sisi gelap agar bisa terlihat, dalam arti manusia diberikan kewajiban dari Rabb nya untuk mengajak sekelilingnya menuju jalan yang benar yang di ridhoi Rabb nya dan mencegah keterjerumusan ke jalan yang tidak benar atau sesat (amar ma’ruf nahi munkar). Dengan adanya potensi cahaya dalam diri setiap manusia itu, kita dituntut untuk menjadi penyelamat, karena sangat banyak sekali yang butuh diselamatkan dengan cahaya yang kita tebar, setidaknya bisa menjadi petunjuk dalam jalan kelam sehingga tidak ada yang tersesat menabrak karang, menabrak tebing ataupun terjun ke jurang yang dalam nantinya.

Jika potensi cahaya itu sudah termanfaatkan dengan baik, maka segeralah untuk menebarkan sinar, karena masih sangat banyak lorong-lorong kelam, ruang-ruang suram dan lembah-lembah gelap yang banyak dilalui individu-individu butuh penerangan secercah cahaya, di tempat itu juga banyak pohon-pohon kehidupan yang membutuhkan cahaya untuk kelangsungan tumbuhnya peradaban yang menhasilkan buah peradaban yang baik. Jangan sampai ada yang terbentur dinding ataupun ada yang duluan terjun ke jurang karena kita terlambat memberikan secercah cahaya.
Jangan sampai pohon-pohon peradaban yang lama merindukan sinar cahaya itu duluan ditebang oleh yang tidak berhak menebangnya sebelum menghasilkan buah peradaban yang baik. 

JANGAN SAMPAI TERLAMBAT, jangan sampai semua di sekeliling kita terlanjur terjun duluan ke jurang dan jangan sampai semua pohon peradaban keburu ditebang sebelum berbuah hingga kita tak bisa lagi menemukan buah dari peradaban yang baik. Jangan sampai ada penyesalan nantinya, Jadilah penyelamat yang terbaik........



Diposting 2 tahun yang lalu
(dekat tanah sudut nan gersang, Rabiul Akhir kala cahaya sepenggalan)