KITA DAN PROFESI PARA NABI
Kita menyadari bahwasanya diri kita ini hanyalah insan
biasa jika dibandingkan para Nabiyullah, para sahabat dan ulama-ulama besar
yang telah banyak mengubah dunia dengan karya nyatanya, seperti Asy Syahid Imam
Hasan Al Banna, Sayyid Quthb, Syaikh Ahmad Yassin dsb. Kita paling-paling hanya
bisa meneladani sekian persen dari apa yang telah mereka perbuat untuk dunia.
Apalagi kita yang berprofesi sebagai “abdi negara”. Ya, walaupun istilahnya
“abdi negara”, kita semua yakin bahwasanya pengabdian yang utama itu kepada
Allah SWT dalam rangka mencari keridhoanNya.
Sebagai “abdi negara” kita tentu memiliki gerak
terbatas, memiliki ruang lingkup yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Walaupun
demikian, tugas kewajiban kita sebagai manusia terpilih dalam menebarkan yang
ma’ruf dan mencegah kemungkaran dalam peradaban dunia ini harus tetap
dijalankan. Kadang mungkin ada diantara kita yang bersedih karena tidak bisa
berbuat seperti para ulama dan para orang-orang shalih lainnya dalam beribadah.
Tapi, saya teringat satu hal yang bisa dijadikan motivasi dalam beribadah
sebagai “abdi negara” khususnya di bidang pertanian.. apalagi yang bekerja di
institusi badan litbang seperti kita ini.
Coba kita lihat sejarah para Nabi, bukankah sebagian
besar para Nabi yang diutus Allah berprofesi sebagai petani, peternak dan juga
“abdi negara”...
Dalam sejarah Nabi Adam AS, setelah terusir ke Bumi ini
Nabi Adam AS juga melaksanakan kegiatan bercocok tanam dan beternak. Di sejarah
ketika kedua pasang anak beliau (Habil dan Qabil) akan menikah, Allah SWT
memerintahkan kepada keduanya untuk berqurban. Dalam kisahnya, Habil memberikan
Qurban terbaik dari hasil bercocok tanamnya berupa sayuran dan ternak,
sementara Qabil memberikan hasil yang terburuk dari kegiatan bercocok tanamnya.
Dan Akhirnya yang diterima Allah adalah qurbannya Habil yang memberikan hasil
pertanian terbaiknya.
Begitu juga dengan nabi Nuh AS. Ketika Allah SWT
memberikan “early warning” terhadap turunnya bencana, Nabi Nuh AS menyiapkan
bahtera besar untuk keberlangsungan kehidupan masa depan. Nuh AS mengumpulkan
hewan berpasang-pasangan dan juga tumbuhan yang berpasangan. Bisa kita
simpulkan bahwa zaman itu Nuh AS telah berpikiran untuk melestarikan ekosistem
hayati. Dan hasilnya bisa kita rasakan saat ini dengan beraneka ragamnya jenis
makhluk hidup di dunia ini.
Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS juga disebutkan dalam
kisahnya mengembala ternak di sekitar jazirah Arab. Begitupun dengan Nabi Musa
AS, setelah lari dari Mesir dan dicari tentara Fir’aun, Nabi Musa muda
melarikan diri ke jazirah Arab dan bertemu dengan anak-anaknya Nabi Syu’aib AS
yang sedang menggembala domba. Melihat Musa AS yang kuat dan telaten dalam
me-manage gembala domba dengan baik, Nabi Syu’aib AS mengambil Musa AS menjadi
menantunya.
Lain lagi kisah Nabi Yusuf AS yang mengharu biru,
setelah dipisahkan dengan ayahnya (Nabi Ya’kub) semasa kecil, Yusuf AS
menjalani kehidupan yang berat menjadi budak di kalangan Raja Mesir. Namun
Allah SWT memberikan mu’jizatNya kepada Yusuf AS yang bisa mentahwilkan mimpi.
Sejak itu Yusuf AS keluar dari perbudakan dan Yusuf AS dengan kepercayaan yang
baru diterimanya mengajukan diri untuk menjadi “abdi negara”. Nabi Yusuf
mengajukan diri menjadi bendahara negara, kalau sekarang setingkat mungkin
menteri keuangan dan menteri pertanian. Kala itu Yusuf AS mentahwilkan mimpinya
akan datang masa sulit pada kerajaan Mesir, akan datang 7 tahun musim panen
berlimpah dan disusul dengan 7 tahun masa paceklik panjang setelahnya. Yusuf AS
dengan pemikiran Inovasi Teknologi yang dimilikinya berpikiran untuk
memaksimalkan panen pertanian dan peternakan pada 7 tahun pertama. Kelebihan
pada panen tersebut setengahnya disimpan sebagai persediaan untuk musim
paceklik 7 tahun selanjutnya. Dapat kita bayangkan gandum dan hasil pertanian
tersebut mustahil tersimpan lama jika tidak ada inovasi teknologi kala itu,
bukan saja gandumnya, tentu jeraminya juga diawetkan sebagai sumber makanan
ternak yang tahan lama. (Kita saja di BPTP paling2 bisa mengawetkan silase
untuk ketahanan 1 tahun). Dapat kita simpulkan sementara bahwa di Inovasi
Teknologi saat Nabi Yusuf AS menjadi “abdi negara” tersebut sudah sangat maju.
Dengan keberhasilan usaha tersebut Allah SWT mempertemukan kembali Yusuf AS
dengan ayahnya nabi Ya’kub AS melalui saudaranya yang kehabisan logistik saat
masa paceklik.
Masih banyak lagi para Nabi Allah yang berprofesi
sebagai Petani, Peternak dan juga “abdi negara”. Bahkan Nabi Muhammad SAW yang
sudah tidak asing lagi ditelinga kita ketika mudanya adalah seorang peternak
dan peniaga ulung serta terpercaya di semua kalangan. Untuk menikah dengan
istri pertama beliau Siti Khadijjah RA, rasulullah memberikan mahar sebanyak 20
ekor Unta (mohon dikoreksi dengan dalil shahih), sejumlah kuda dan hewan ternak lainnya dari
hasil usahanya sendiri. Itu menandakan Rasulullah SAW memiliki skill dalam
dunia peternakan yang sangat baik.
Itulah profesi para Nabi yang diutus Allah SWT dengan
profesi sebagai Petani, Peternak dan juga “abdi negara”. Itu menandakan profesi
tersebut bukanlah profesi yang sembarangan, sebab para Nabi menjadikan profesi
tersebut menjadi bagian hidupnya dalam merubah peradaban dunia ini menjadi
lebih baik. para Nabi dengan profesinya tersebut menjadikan ladang amal dan
ladang dakwah nya dalam men-syi’arkan amar ma’ruf sehingga peradaban dunia
menjadi terwarnai dengan cahaya yang Allah turunkan kepada mereka.
Bersyukurlah kita menjadi bagian di profesi para Nabi
itu, khususnya kita sebagai “abdi negara” di badan litbang / Balai yang
menghasilkan teknologi di bidang pertanian. Setidaknya dengan ilmu yang kita
dapatkan bisa bermanfaat bagi mayoritas penduduk negeri kita yang notabenenya
berprofesi sebagai petani. Dengan kesempatan itu juga semoga kita juga bisa
meneladani para Nabi yang juga menebarkan amar ma’ruf agar peradaban dunia
khususnya di negeri kita dapat lebih terwarnai.
Mari... kita jadi Petani, Peternak dan “abdi negara”
yang bersih, peduli dan profesional dengan meneladani Nabi Allah...
11.am Fokus Sukarami 21/2/12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar